Hari Sabtu, 21 Januari 2023 saya mengikuti wisata jalan kaki bersama Jakarta Good Guide (JGG). Momen Imlekan ini sebenarnya selalu ditunggu, karena bisa motret daerah pecinan Glodok dengan nuansa Imlek. Saya bersama kak Desy dan juga Naeema (anak dari kak Desy) setengah harian bermain di daerah pecinan Glodok.
Sebenarnya ini pertama kali ikutan wisata jalan kaki, sebelumnya kalau mau ke Glodok biasanya bareng sama teman-teman fotografi. Kami ke Glodok biasanya saat perayaan Imlek, karena ingin memotret momen Imlek. Bedanya kali ini main ke Pecinan Glodok sehari sebelum perayaan Imlek.
Jelajah sejarah pecinan Glodok dimulai dari Candra Naya, selain sebagai titik kumpul ini juga permulaan dari tour jalan kaki bersama JGG. Kawasan Glodok Jakarta sangat terkenal sebagai kawasan pecinan karena nuansa budaya Tionghoa yang masih sangat kental.
Walaupun di sekitarnya sudah banyak bangunan-bangunan megah, tetapi kita masih bisa menjumpai bangunan-bangunan klasik. Bangunan kuno dengan gaya arsitektur Tionghoa klasik masih dapat kita jumpai di daerah Glodok. Perjalanan jelajah sejarah kita mulai dari bangunan cagar budaya Candra Naya.
Candra Naya
Selain sebagai titik kumpul, Candra Naya juga menjadi jelajah sejarah pertama yang diceritakan. Mungkin teman-teman sebelumnya ada yang sudah main ke Candra Naya juga? Letak Candra Naya ini unik, karena diapit oleh apartemen.
Candra Naya merupakan bangunan cagar budaya di daerah Glodok Jakarta. Ternyata ini merupakan tempat tinggal keluarga Khouw van Tamboen, terutama Mayor der Chinezen Khouw Kim An yang merupakan kepala bangsa Tionghoa di Batavia yang terakhir (1910-1918 dan diangkat kembali pada tahun 1927-1942).
Bangunan yang memiliki luas 2.250 meter persegi ini memiliki arsitektur Tionghoa yang khas dan merupakan salah satu dari dua kediaman rumah mayor Tionghoa Batavia yang masih berdiri sampai sekarang di Jakarta.
Bangunan Candra Naya bukan hanya sekedar kediaman dari keluarga Khouw, melainkan merekam jejak-jejak sejarah Tionghoa di Tanah Air. Bangunan bersejerah ini diperkirakan didirikan pada tahun 1807 atau pada tahun kelinci oleh Khouw Tian Sek. Saat masa penjajahan Jepang, Candra Naya sempat menjadi kantor pusat perkumpulan orang Tionghoa dengan tujuan sosial. Sin Ming Hui.
Bercerita tentang arsitektur bangunan Candra Naya yang diapit oleh dua gardu jaga di bagian kanan dan kiri. Dulunya di bagian depan terdapat taman yang cukup luas dan di bagian belakang terdapat kolam teratai.
Bangunan Candra Naya terdiri dari beberapa ruang utama sebagai berikut:
- Ruang umum untuk menerima tamu dan merupakan kantor Khouw Kim An, terdiri dari bagian teras hingga ruang penerimaan tamu.
- Ruang semi pribadi untuk tamu-tamu yang akrab. Ruangan ini dipisahkan dari ruang umum dengan adanya sebuah halaman yang ditutup dengan genteng kaca. Setelah halaman tertutup genteng kaca ini terletak suatu ruangan terbuka dengan altar untuk sembahyang. Di kiri-kanan dinding altar terdapat dua buah pintu yang menuju ke sebuah pintu lain yang menerus ke halaman utama. Kedua ruang ini terdapat di bangunan utama.
- Ruang pribadi sebagai tempat hunian keluarga terletak di bagian belakang, terdiri dari bangunan dua lantai dengan kamar-kamar tidur terletak berjejer di kedua lantai. Bangunan ini merupakan bangunan belakang.
- Ruang pelayang yang berfungsi sebagai dapur, tempat para selir dan anak-anak. Bangunan ini merupakan sayap kanan-kiri bangunan utama.
- Halaman kamar-kamar di Candra Naya dibuat menghadap halaman utama di tengah bangunan. Selain itu, si bagian kanan dan kiri, di depan bangunan sayap, juga terdapat halaman. Halaman utama di depan bagian belakangn bangunan yang bertingkat dua tadi dilengkapi dengan gazebo.
Salah satu struktur yang istimewa dari Candra Naya adalah bentuk atap melengkung bergaya Tionghoa yang kedua ujungnya terbelah dua, disebut “Yanwei” (ekor walet). Struktur atap yang melengkung ini, yang juga terdapat pada bangunan kelenteng dan halaman samping, terdapat jendela penghubung yang disebut jendela bulan atau moon gate.
Sedangkan beberapa ornamen yang menempel pada bagunan ini adalah Ba Gua (Depalan Diagram) yang berupa pengetuk pintu berbentuk segi delapan untuk penolak bala, hiasan berupa jamur lingzhi pada pintu masuk utama yang melambangkan umur panjang dan ragam hias bergambar buku, papan catur, kecapi dan gulungan lukisan di bagian atas teras depan yang melambangkan sang pemiliki rumah adalah seorang cendekiawan disamping seorang hartawan.
Jin De Yuan, Kelenteng Tertua
Dari Candra Naya kemarin kami berjalan menuju Jin De Yuan yang merupakan kelenteng tertua yang berumur ratusan tahun. Terakhir ke Jin De Yuan sebenarnya tahun 2020 waktu itu motret perayaan Imlek disana bersama teman-teman fotografer. Kali ini mainya menjelang perayaan Imlek.
Jin De Yuan atau yang biasa dikenal dengan Wihara Dharma Bhakti berada di Petak Sembilan. Saat memasuki area Wihara juga sudah terlihat beberapa orang yang sudah memulai berdoa dan juga para petugas sedang bersiap-siap untuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan.
Kelenteng Jin De Yuan merupakan salah satu kelenteng tertua di Jakarta. Usianya sudah ratusan tahun, wah lama juga ternyata ya. Awalnya kelenteng ini bernama Kim Tek Le yang artinya kebajikan emas.
Ternyata saya baru tau juga bahwa didalamnya ada tiga bangunan. Bangunan pertama disebut Raja Neraka dibangun tahun 1824. Bangunan kedua berdiri di halaman Jin De Yuan, dan dibangun tahun 1830. Sedangkan bangunan utama terletak di bagian tengah kelenteng.
Kelenteng ini didominasi dengan warna emas dan merah, serta pilar gerbang tinggi dan besar dengan warna menyala terang. Di depan kelenteng, pengunjung akan disuguhi pemandangan sepasang singa tau bao gu shi. Mereka dianggap seperti penunggu kelenteng dari abad ke-18 yang berasal dari Provinsi Kwangtung Tiongkok Selata.
Jika menuju pintu utama, terdapat dua jendela persegi yang penuh dengan ukiran motif binatang dan bunga teratai. jendelanya berbentuk bulat dengan ukiran makhluk Qi Lin (kuda bercula satu) yang memiliki arti keberuntungan besar. Sepasang lentera bergambar naga dan burung hong juga terpajang di pintu utama.
Pada pintu utama ini juga terdapat arca Giok Hong Siong atau Dewa Pertama Alam Langit, atau Dewata Tertinggi penguasa alam yang menyambut para pengunjung maupun yang ingin bersembahyang.
Altar Pak Kung (Datuk Kemenangan)
Dari Jin De Yuan lalu kami berjalan menuju Gereja Maria De Fatima, tapi ada yang menarik nih. Kami melewati sebuah tempat sembahyang yang tidak terlalu besar menurut saya, namanya Pak Kung (Datuk Kemenangan).
Ini beneran letaknya pas dibelokan jalan mau masuk pemukiman warga, konon katanya ini persembahan untuk Dewa kemenangan. Jadi sebelum melakukan aktivitas berdoa disini agar mendapatkan kemujuran.
Gereja Maria De Fatima
Kalau gak ikutan walking tour pasti saya gak akan tau kalau ada gereja Santa Maria De Fatima ini. Kalau dilihat bentuk bangunannya tidak seperti gereja pada umumnya ya, beda banget. Ternyata ini gereja dengan arsiktektur budaya Tionghoa. Gereja Santa Maria De Fatima merupakan gereja Khatolik di Jakarta.
Bangunan yang didominasi dengan warna merah dan emas dan juga terdapat dua patung singa yang melambangkan kemegahan, sekaligus membuat nuansa budaya Tionghoa semakin terasa. Sayangnya kemarin kita gak bisa masuk ke dalam, karena sedang tutup.
Kalau menurut guide yang kemarin membawa kami, nuansa dalamnya kental sekali dengan budaya Tionghoa. karena terdapat ukiran pada kayu yang terdapat didalam seperti mimbar dan juga dekorasinya.
Pada awalnya gereja ini bermula dari tugas pelayanan dan perawatan dari Vikaris Apostolik Jakarta, Mgr. Andrianus Djajasepoetra SJ kepada Pater Wilhelmus Krause Van Eeden SJ. Awalnya gereje ini memiliki tujuan sebagai sekolah dan asrama bagi orang-orang Hoakiau atau perantau dari China yang ada di Glodok.
Kelenteng Toa Se Bio
Tahun 2020 saya sempat motret di Toa Se Bio pada perayaan Imlek, bedanya kalau sekarang saya kesini sambil belajar tentang sejarah kelenteng tertua yang juga menjadi saksi bisu sebuah tragedi di masa lalu.
karena kemarin kesini menjelang perayaan Imlek, jadi beberapa petugas juga terlihat sangat sibuk. Mulai menyiapkan perlengkapan untuk sembahyang juga bersih-bersih. Toa Se Bio didominasi dengan warna merah ini masih berdiri dengan kokoh, meski telah dibangun sejak 500 hingga 600 tahun yang lalu.
Tercium asap hio yang mengisi seluruh ruang wihara menyambut para pengunjungnya. Karena memang pada hari itu juga sudah ada yang datang untuk bersembahyang. Lalu saya juga baru tau kalau ternyata lilin yang besar-besar di dalam wihara itu mahal sekali loh. Ada yang seharga motor.
Tidak hanya disinggahi para umat untuk bersembahyang kepada dewa-dewi. Kelenteng ini pun sangat menarik para wisatawan juga loh, karena mereka ingin mengetahui filosofi bangunan tua tersebut. Pas banget juga kemarin bersamaan dengan turis asal Korea dan juga mancanegara lainnya.
Dari pintu masuk, tempat sembahyang hingga altar dewa-dewa juga sangat menari bagi para wisatawan, karena kemarin saya sempat mendengarkan perbincangan mereka.
Memasuki gerbang, kita akan menemui ornamen naga yang melilit di bagian atas gerbang. Konon katanya naga yang bertengger pada gerbang masuk, maupun tiap sudut kelenteng, diyakini dapat mengusir roh jahat yang akan masuk ke dalam rumah.
Nah ini kelompok saya waktu walking tour bersama Jakarta Good Guide, seru banget karena punya pengalaman baru selain cuma motretin perayaan Imlek di Pecinan Jakarta.
rezkyra says
mantap nih jepretan2nya, pas komposisi warnyanya ya
Chichie says
thank you kak
rezkyra says
kira2 kalau foto pakek hp gambar jepretannya bakalan bagus g ya
Chichie says
ini gak semua pakai kamera kok, ada beberapa yang pakai kamera juga kayak di dalam Candra Naya dan altar pak Kung pakai handphone.
@hm_zwan says
Wah, seru banget ini mbak wisata sejarah apalagi bareng-bareng gini. Khas banget ya bangunan kelenteng ini, warna merah dan ada aksen aksen yang khas
Chichie says
he eh mak, biasanya cuma moto pas saat imlek doang ini tapi kemarin memang sudah berencana ikutan walking tour biar tau lebih detail lagi.
Nanik Nara says
Khas ya nuansa merah menyala dan emas. Takjub dengan bangunan-bangunan tua yang masih tetap terawat sampai saat ini.
Baru kali ini juga saya tahu ada bangunan gereja bernuansa tionghoa mbak, Gereja Maria De Fatima. Sayang pas ke sana tutup ya, jadi nggak bisa lihat dalamnya seperti apa.
Chichie says
Merah dan Emas memang warna khas mereka. Karena katanya itu warna keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa. Kalau yang gereja malahan aku agak kaget kayak bukan geraja bentukannya.
diane says
Cakeeeeeppp Bangeeeettt. Jadi terpikir untuk eksplor tempat yang deket2 tempat ku tinggal..ada pecinan juga dan emang unik2 sih ya bangunannya…
Chichie says
iya mbak, setiap daerah pasti ada deh tempat sembahyang masyarakat Tionghoa
Lisdha www.daily-wife.com says
Waw…seruuu sekali jalan2 sama JGG. Aku suka banget jalan2 ke tempat2 historis gini. Ini pas mau imlek pulanya mbak..jd pasti lagi berhias itu tempat2nya. Makin dimanjakan dong sama foto2 mb Chiechie.
Btw aku juga baru tau kalau lilin yg guede2 itu harganya bisa belasan (atau malah puluhan) juta. Wow bangett yaaa….
Chichie says
Aku benernya suka motoin pas Imleknya karena melihat bagaimana masyarakat Tionghoa itu merayakan. Nah kemarin belajar sejarahnya nih.
Lidhamaul says
Baca ini berasa ikut tournya. Gerejanya unik, gak cuma arsitekturnya tapi juga namanya, berasa penggabungan beberapa kultur. Lilin yang seharga motor itu sebesar apa ya, atau karena kualitasnya. Sebelumnya lihat klenteng cuma dari luar, di sini lihat dalamnya juga. Eh pernah sih lihat dalamnya klenteng di film-film mandarin klasik. Macam di Jin De Yuan itu, kayaknya lantai keramiknya juga masih versi asli ya.
Chichie says
Gerejanya kayak bukan gereja ya, karena memang arsitekturnya beda dari gereja kebanyakan.
Nurul Sufitri says
WIsata jalan kaki bersama Jakarta Good Guide tuh menyenangkan. Aku pernah 5 tahun lalu ikutan bareng murid2 sekolah anakku kelas bilingual MTsN 4. Kalau probadi malah belum kesampaian. Banyak kisah sejarah di Pecinan Glodok ini ya mak Chie. Foto2nya bagus. Nuansa Imlek nya dapat serba merah seperti ini bikin semangat berwisata tentunya. Unik sekali bentuk bangunan gereja Maria De Fatima ya.
Chichie says
Untung ya cuaca pas hari itu bersahabat jadi aman terkendali deh jalan-jalan seputaran Glodok
Bibi Titi Teliti says
Seru sekali bisa jalan-jalan ke daerah Pecinan yah, ternyata banyak tempat menarik yang bisa dikunjungi sekalian belajar sejarah juga yah . Indah banget lah bangunan Klenteng di sana, kayaknya harus eksplor yang di Bandung juga nih
Chichie says
Salah satu momen yang aku tunggu-tunggu ini bisa main ke Pecinan karena seru banget. Apalagi menjelang dan setelah Imlek itu.
Bibi Titi Teliti says
Seru sekali bisa jalan-jalan ke daerah Pecinan yah, ternyata banyak tempat menarik yang bisa dikunjungi sekalian belajar sejarah juga yah . Indah banget lah bangunan Klenteng di sana, kayaknya harus eksplor yang di Bandung juga nih
Ismarlina Mokodompit says
Bisa jadi tujuan wisata sejarah nih kalau lagi ke Jakarta. Btw cakep banget foto-fotonya mbak, suka juga deh sama tone warnanya!
Chichie says
terima kasih mbak, iya ini ketolong dengan ornamen warna mereka juga nih.
Dian Kusumawardani says
Wah seru banget bisa jalan-jalan ke Pecinan seperti ini
Ini bisa juga dibilang Napak tilas sejarah ya mbak
Kampung Pecinan ini awal mulanya dari kebijakan kolonial Belanda ya, namanya Wijkenstelsel
Yang menempatkan orang Tionghoa di daerah terisolir terpisah dari kelompok etnis lainnya
lendyagassi says
Bergabung di Jakarta Good Guide jadi punya pengalaman seru dan wisata tempat-tempat bersejarah begini ya, kak Chie..
Rasanya jarang banget wisatawan ke Pecinan, Glodok. Yang aku tau, Glodok ini tempat jual beli elektronik bukan ya..?
Begini indah banget gak sih.. kak Chie.
Tempat ibadah pada berjajar berdampingan dengan damai. Antara kelenteng dan gereja.
Hidayah Sulistyowati says
Seru wisata mba Chichie jalan-jalan bareng komunitas JGG, mba. Berasa ikut diajakin menyusuri kawasan Pecinan di Glodok. Ada Naeema juga nih ikut walking tour bareng.
Aku suka melihat fasad Candra Naya, khas bangunan Tiongkok. Luas banget ya sampai 2 ribuan lebih. Menarik juga yang gereja dengan bangunan khas China, jadi berbeda dibanding bangunan gereja umat Katholik lainnya
Grandys says
terpukauuu sama hasil potretnya kak chie, tone nya dapet banget vibes perayaan imleknya. Aku belum pernah nih jelajah area Glodok dan pengen banget, semoga soon ada kesempatan dan bisa lihat langsung Candra Naya yg megah dan bersejarah itu. Iyaa ga sangka itu bangunan gereja ya, keren banget perpaduan dengan tionghoa bangunannya
Ria Fasha says
duh jadi salfok sama foto-foto nya mak chichie
selalu apik yaa
seru banget walking tournya bisa tau sejarah pecinan jakarta
ternyata ada gereja juga ya, secara visual nggak keliatan kayak gereja ya
Gusti yeni says
Seruuu banget, aku ga kepikiran mak ada bangunan sejarah ratusan tahun di glodok.
Bisa banget nih mengagendakan anak2 buat ajak temannya kesini…
Jiah Al Jafara says
Asyik banget walking tour-nya. Kalau mau Imlek atau sedang tahun baru China gini, bangunannya keliatan ramai dan meriah dengan warna merah. Btw, gerejanya unik juga ya
Rahmah says
Surga spot foto banget ini
Apalagi pas Imlek kemarin, momennya pasti terasa berbeda
Pengen juga bisa ke Pecinan tetapi masih terhalang kemana-mana
Nanti kalau ke Glodok, ajakin ke sini ya
Dedew says
Asyik ya walking tour seru seperti ini akhirnya diadakan lagi setelah lama pendemi. Unik banget bangunan gerejanya tapi dengan arsitektur Tionghoa ada di Jakarta
Istiana Sutanti says
aah, seru banget mbak wisata jalan kaki rame-rame kayak gini. jadi pengen ikutan, ahaha
ternyata di sana banyak tempat bersejarah bagi etnis tionghoa ya, tempatnya pun cakep2, terawat sampai sekarang. aku pikir bangunan Cina gini tuh klenteng aja, ternyata gereja pun ada yaa. asik-asik jadi bisa tau banyak tempat kayak gini 😀
Alia says
Aku pernah bbrp th lalu jg eksplor kawasan Glodok bareng komunitas Bunda Ngebolang. Seru
herva yulyanti says
Rasanya kok aku baru tahu ya mba di Jakarta ada tempat begini keren akan sejarahnya juga..berasa pengen ngubek2 Jakarta salah satunya pengen ke Pecinan ini
Naqiyyah Syam says
Terima kasih sharing-nya mbk, jadi mengenal sejarah di Pecinan Glodok Jakarta nih, aku belum pernah ke sana, ikut menghormati dan kita perlu banget menjaga tolerasi ya. Bangunannya bagus dan arsitektur Tionghoa meriah sekali
Rina Susanti says
Pengen ikutan wisata kota spt ini, healingnya dapat, ilmu sejarahnya dapat dan biaya relatif terjangkau
siti hairul says
cakep mak foto2nya, kayak di Jogja nih ada kawasan Pecinan juga meroiah banget karena mendekati Imlek